Sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, sertifikasi halal memiliki peran penting di Indonesia. Label halal pada berbagai produk, khususnya yang dikonsumsi, menjadi jaminan yang memberi ketenangan bagi konsumen dalam memilih produk yang sesuai dengan syariat Islam.
Tak hanya itu, bagi pelaku usaha, sertifikasi halal menjadi nilai tambah yang dapat meningkatkan kepercayaan dan daya saing di pasar lokal maupun global. Pasalnya, produk bersertifikat halal lebih mudah diterima, terutama di negara-negara dengan regulasi ketat terkait kehalalan.
Sebelumnya, kewenangan penuh mengenai sertifikasi halal berada pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui LPPOM MUI. Akan tetapi, sejak hadirnya UU Jaminan Produk Halal, sistem ini berubah dengan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang berada di bawah naungan Kementerian Agama.
Perubahan ini membuat MUI dan BPJPH memiliki peran berbeda tetapi saling melengkapi. BPJPH mengurus administrasi dan penerbitan sertifikat, sementara MUI menetapkan fatwa kehalalan. Yuk, cari tahu lebih lanjut tentang perbedaan keduanya!
Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia

Sebelum hadirnya BPJPH, sertifikasi halal di Indonesia sepenuhnya menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Melalui LPPOM MUI yang berdiri sejak 1989, lembaga ini melakukan pemeriksaan, audit, hingga mengeluarkan sertifikat halal yang berlaku di tingkat nasional.
Peran MUI saat itu sangat sentral karena tidak hanya memutuskan status kehalalan produk, tetapi juga menyusun standar, prosedur, serta mengawasi kepatuhan produsen. Sertifikat halal MUI kemudian menjadi rujukan utama bagi konsumen Muslim di Indonesia.
Namun, meningkatnya jumlah produk dan kebutuhan regulasi yang lebih terintegrasi memunculkan kebutuhan sistem baru. Pemerintah merasa perlu hadir untuk memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dalam proses sertifikasi halal.
Dari latar belakang inilah lahir Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Melalui UU ini, kewenangan administrasi sertifikasi beralih kepada BPJPH, sementara MUI tetap berperan menetapkan fatwa halal yang bersifat final dan mengikat.
Apa Itu MUI dan Perannya dalam Sertifikasi Halal
Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan lembaga keagamaan yang sejak lama menjadi rujukan utama dalam penetapan hukum Islam, termasuk soal kehalalan produk.
Untuk menjalankan fungsi teknis, MUI membentuk Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM MUI) yang melakukan audit, pemeriksaan, serta pengawasan produk.
Sebelum tahun 2019, sertifikat halal yang berlaku di Indonesia sepenuhnya diterbitkan oleh MUI. Produsen yang ingin mendapatkan label halal wajib melalui proses pemeriksaan LPPOM MUI, hingga akhirnya memperoleh sertifikat halal resmi yang diakui secara nasional.
Selain sebagai lembaga pemeriksa, MUI juga berwenang menetapkan fatwa halal. Fatwa ini menjadi landasan hukum yang memastikan status kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam, sekaligus memberikan jaminan kepastian bagi konsumen Muslim.
Apa Itu BPJPH dan Tugasnya Sekarang

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) adalah lembaga pemerintah di bawah Kementerian Agama yang dibentuk berdasarkan UU No. 33 Tahun 2014. Kehadirannya menandai peralihan kewenangan administrasi sertifikasi halal dari lembaga keagamaan ke lembaga negara.
Saat ini, proses sertifikasi halal diajukan melalui BPJPH. Badan ini menerima pendaftaran, memproses dokumen, serta mengoordinasikan tahapan sertifikasi hingga penerbitan sertifikat halal bagi pelaku usaha.
Dalam praktiknya, BPJPH bersinergi dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang melakukan audit lapangan terhadap produk dan fasilitas produksi. Hasil audit tersebut kemudian diajukan ke MUI untuk ditetapkan status fatwa halal.
Dengan mekanisme ini, BPJPH berperan sebagai pengelola sistem, MUI sebagai pemberi fatwa, dan LPH sebagai auditor teknis. Kolaborasi tersebut membentuk ekosistem sertifikasi halal yang lebih transparan, terstruktur, dan memiliki kepastian hukum.
Perbandingan Sertifikasi Halal MUI vs BPJPH
Seiring perubahan regulasi, terdapat perbedaan mendasar antara sertifikasi halal yang dahulu sepenuhnya dipegang oleh MUI dan sistem baru di bawah BPJPH.
Apa Dampak Peralihan Sertifikasi bagi Pelaku Usaha dan Konsumen?

Perubahan sistem sertifikasi halal dari MUI ke BPJPH membawa penyesuaian prosedur bagi pelaku usaha. Jika sebelumnya semua proses dilakukan di LPPOM MUI, kini pendaftaran dan penerbitan sertifikat wajib melalui BPJPH, dengan audit dilakukan LPH dan fatwa tetap oleh MUI.
Bagi perusahaan yang telah memegang sertifikat halal MUI sebelum 2019, dokumen tersebut masih tetap berlaku hingga masa berlakunya habis. Setelah itu, perpanjangan sertifikat wajib diajukan melalui mekanisme baru di BPJPH.
Di sisi konsumen, peralihan ini membutuhkan sosialisasi yang jelas agar tidak menimbulkan kebingungan. Penting untuk dipahami bahwa meskipun bentuk sertifikat berbeda, status kehalalan produk tetap dijamin karena fatwa halal masih ditetapkan oleh MUI.
Dengan adanya sistem baru, diharapkan konsumen mendapatkan kepastian hukum lebih kuat, sementara pelaku usaha memperoleh prosedur yang lebih terstruktur dan transparan dalam mengurus sertifikasi halal.
Peralihan sertifikasi halal dari MUI ke BPJPH menegaskan bahwa kini BPJPH adalah lembaga resmi yang berwenang menerbitkan sertifikat halal di Indonesia.
MUI tetap berperan menetapkan fatwa halal, sementara LPH melakukan audit lapangan, sehingga sistem baru ini melibatkan kolaborasi yang lebih jelas antara lembaga negara, ulama, dan auditor.
Bagi pelaku usaha, pendaftaran sertifikasi halal kini dilakukan melalui BPJPH Kementerian Agama. Prosesnya dapat diakses secara online melalui laman ptsp.halal.go.id atau dengan menghubungi kantor BPJPH di masing-masing wilayah.
Sertifikat halal lama yang diterbitkan MUI tetap berlaku hingga masa berlakunya berakhir, lalu wajib diperpanjang lewat sistem baru.
Dengan memahami mekanisme ini, kita sebagai konsumen tidak perlu ragu terhadap keabsahan produk halal di pasaran, sementara pelaku usaha memiliki kepastian hukum yang lebih kuat dan proses yang lebih transparan.